Pada tanggal 22 Oktober, setiap tahun selalu menjadi pengingat penting akan kiprah santri bagi bangsa. Hari Santri Nasional bukan sekadar perayaan seremonial, tetapi momen untuk menegaskan kembali semangat keislaman, nasionalisme, dan pengabdian yang diwariskan para ulama.
Tahun 2025 memberi kita kesempatan untuk merenungkan; bagaimana semangat santri yang berakar pada tradisi ilmu dan adab dapat tetap hidup di tengah dunia digital yang terus bergerak cepat.
Menatap Ulang Peran Santri di Zaman Digital
Dalam sejarah, santri dikenal sebagai penjaga ilmu, moral, dan keteladanan. Mereka turut berjuang mengusir penjajah, memelihara kebangsaan, dan menanamkan nilai-nilai Islam yang damai. Kini, perjuangan itu tidak lagi berlangsung di medan perang atau di serambi pesantren, tetapi di ruang digital, tempat di mana nilai dan informasi saling bersaing untuk mendapat perhatian manusia.

Teknologi membuka akses luar biasa terhadap ilmu dan komunikasi. Namun kemudahan itu juga membawa ujian baru: arus informasi yang tak terbendung, kaburnya batas antara benar dan salah, serta menurunnya kesadaran etika dalam bermedia. Di sinilah, peran kesantrian menjadi relevan kembali, bukan hanya bagi santri di pesantren, tapi juga bagi siapa pun yang ingin menjaga nilai di tengah kebebasan tanpa batas.
Teknologi Sebagai Ruang Dakwah dan Kebaikan
Di balik segala tantangannya, era digital juga membuka jalan baru bagi penyebaran ilmu dan dakwah. Kini, pesan keislaman tidak hanya bisa disampaikan di mimbar atau majelis taklim, tetapi juga melalui tulisan, video, podcast, atau ruang diskusi daring yang menjangkau lintas generasi dan wilayah.
Dengan semangat kesantrian, siapa pun dapat mengambil bagian dalam menyebarkan kebaikan. Konten yang mencerahkan, edukatif, dan santun bisa menjadi bentuk baru dari dakwah yang kontekstual. Dunia digital memberi peluang besar bagi mereka yang ingin menebar manfaat — asal tetap menjunjung kejujuran dan etika, sebagaimana nilai-nilai yang dijaga di pesantren.

Menjaga Ruh Santri di Tengah Arus Global
Refleksi Hari Santri 2025 mengingatkan kita bahwa digitalisasi bukan ancaman bagi nilai-nilai santri. Justru di sanalah ruang baru perjuangan moral dan intelektual terbuka lebar. Semangat santri dapat hidup di mana pun, bahkan di tengah gawai dan layar biru.
Yang dibutuhkan adalah keseimbangan antara kecerdasan digital dan kedalaman spiritual.
Ketika dunia berubah dengan cepat, santri dan siapa pun yang mengamalkan nilai kesantrian, harus menjadi penuntun moral, menghadirkan wajah Islam yang teduh, inklusif, dan berkemajuan.

Belajar Menjadi Santri dalam Arti Luas
Saya bukan lulusan pesantren. Saya tidak pernah mencicipi kehidupan yang penuh kedisiplinan dan ketenangan di bawah bimbingan seorang kiai. Namun, setiap kali melihat kehidupan para santri, saya belajar sesuatu yang berharga; bahwa kesungguhan, kesabaran, dan kerendahan hati adalah bentuk nyata dari kecerdasan spiritual.
Di dunia yang serba cepat ini, di mana semua hal harus instan dan serba “online”, nilai-nilai itu terasa semakin langka. Karena itu, saya sering berpikir bahwa menjadi “santri” sebenarnya bukan soal tempat belajar, melainkan soal sikap batin.
Menjadi santri berarti siap belajar seumur hidup, bersabar dalam proses, dan menghormati ilmu dengan adab. Dalam konteks digital, semangat ini bisa menjadi penuntun agar kita tidak hanyut dalam gelombang informasi yang menyesatkan.
Pada akhirnya, Hari Santri bukan hanya milik mereka yang tinggal di pesantren, tetapi juga milik semua orang yang meneladani semangatnya; tekun menuntut ilmu, berpegang pada adab, dan menjadikan ilmu sebagai jalan untuk memperbaiki diri serta memberi manfaat bagi sesama.
“Menjadi santri bukan sekadar tentang tempat belajar, tetapi tentang sikap hidup -kesabaran, adab, dan ketulusan dalam mencari ilmu, di mana pun dan kapan pun”
Oleh : Ardiansyah Jubair
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor
Jangan Tampilkan Lagi
Ya, Saya Mau !